6 Bulan Pemerintahan Prabowo-Gibran, Celios Soroti Tekanan Fiskal dan Gejolak Ekonomi

Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan saat sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (23/10/2024). Presiden Prabowo Subianto menggelar sidang kabinet paripurna perdana yang dihadiri jajaran Kabinet Merah Putih. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww/pri.

JAKARTA, Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah genap enam bulan berjalan sejak dilantik pada 20 Oktober 2024. Dalam evaluasi awal kinerja ekonomi pemerintahan baru ini, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengungkap sejumlah indikator ekonomi yang dinilai memprihatinkan dan menunjukkan tekanan fiskal yang kian meningkat.

1. Kinerja Perpajakan Anjlok 27,8%

Bhima menyoroti penurunan tajam penerimaan perpajakan hingga Maret 2025 yang tercatat turun sebesar 27,8% secara tahunan (year on year). Ia menyebut, mandeknya sistem Coretax, melemahnya aktivitas dunia usaha, serta menurunnya pendapatan dari sektor komoditas menjadi penyebab utama lesunya penerimaan negara.

Read More

“Penurunan ini jadi indikator awal bahwa basis penerimaan negara sedang melemah cukup serius,” kata Bhima, Minggu (20/4).

2. Belanja Subsidi Membengkak Tajam

Pengeluaran negara untuk subsidi juga meningkat drastis. Hingga Maret 2025, total belanja subsidi mencapai Rp 535,2 triliun—naik signifikan dibandingkan periode awal pemerintahan Jokowi-Amin yang hanya sebesar Rp 388,6 triliun.

Bhima menilai pembengkakan subsidi ini belum dibarengi dengan perbaikan efektivitas dan ketepatan sasaran.

3. Utang Pemerintah Bertambah Rp 511,3 Triliun

Bhima juga mencatat kenaikan utang pemerintah sebesar Rp 511,3 triliun sejak Prabowo menjabat. Ia memperingatkan bahwa lonjakan utang ini bisa menjadi sinyal tekanan fiskal yang semakin berat dalam jangka pendek.

“Kenaikan utang yang cukup pesat menjadi sinyal bahwa tekanan fiskal meningkat signifikan pada awal pemerintahan Prabowo,” jelasnya.

4. Gelombang PHK di Sektor Tekstil dan Pakaian Jadi

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) juga menjadi sorotan. Menurut Bhima, industri padat karya seperti tekstil dan pakaian jadi mulai mengalami tekanan berat, yang diperparah oleh perang dagang global dan penurunan permintaan ekspor.

“PHK massal bisa menjadi pemicu turunnya konsumsi rumah tangga secara drastis,” ujarnya.

5. Rupiah dan IHSG Tertekan, Investor Mulai Ragu

Pelemahan kurs rupiah dan turunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turut disorot sebagai tanda melemahnya kepercayaan investor terhadap pengelolaan fiskal. Pembentukan entitas baru seperti Danantara juga dianggap memperkuat ketidakpastian di pasar.

6. Krisis Komunikasi di Istana

Bhima menilai komunikasi antara Presiden dan para pembantunya masih lemah, terutama dalam merespons isu-isu besar seperti pembentukan Danantara, revisi UU TNI, serta tekanan yang terjadi di pasar modal. Ia menyebut belum ada tanda sense of crisis dalam menghadapi tantangan ekonomi yang kian kompleks.

“Buruknya komunikasi publik memperbesar persepsi negatif terhadap kebijakan pemerintah,” kata Bhima.

Dengan berbagai tekanan tersebut, Ia menilai penting bagi pemerintah melakukan koreksi kebijakan fiskal, memperbaiki komunikasi ekonomi, dan memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha serta investor. Jika tidak, prospek pertumbuhan ekonomi jangka menengah bisa terganggu.

Related posts

Leave a Reply