JAKARTA, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa sebanyak 29 hakim telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dalam kurun waktu 2011 hingga 2024. Para hakim tersebut diduga terlibat dalam praktik suap untuk merekayasa hasil putusan perkara di pengadilan. Total nilai suap yang terungkap dalam kasus-kasus tersebut mencapai Rp107,99 miliar.
“Berdasarkan pemantauan ICW, sejak tahun 2011 hingga tahun 2024, terdapat 29 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Mereka diduga menerima suap untuk ‘mengatur’ hasil putusan,” demikian keterangan resmi ICW yang dirilis Rabu (16/4/2025).
Di awal tahun 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan empat hakim sebagai tersangka dalam kasus suap penanganan perkara ekspor Crude Palm Oil (CPO). Keempat hakim tersebut adalah:
-
Agam Syarif Baharuddin (ASB) – Hakim PN Jakarta Pusat
-
Ali Muhtarom (AM) – Hakim PN Jakarta Pusat
-
Djuyamto (DJU) – Hakim PN Jakarta Selatan
-
Muhammad Arif Nuryanta (MAN) – Ketua PN Jakarta Selatan
Muhammad Arif Nuryanta diketahui memberikan suap kepada tiga hakim lainnya guna memengaruhi hasil putusan perkara ekspor CPO tersebut.
Menanggapi perkembangan ini, ICW menilai bahwa praktik mafia peradilan sudah berada dalam kondisi kronis, dan perlu pembenahan menyeluruh terhadap tata kelola lembaga peradilan, terutama di lingkungan Mahkamah Agung (MA).
“Penetapan tersangka suap menunjukkan bahaya mafia peradilan. Praktik jual-beli vonis berada pada kondisi kronis,” tulis ICW dalam rilisnya.
ICW mendesak agar MA menjadikan pemberantasan mafia peradilan sebagai prioritas utama, serta memperketat pengawasan internal terhadap kinerja hakim dan sistem rekrutmen.
Selain itu, MA juga didorong untuk bekerja sama dengan Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan elemen masyarakat sipil untuk memetakan titik rawan korupsi di tubuh peradilan.
Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan, turut menyoroti fenomena ini. Menurutnya, banyak hakim saat ini yang memiliki “naluri berdagang”, melihat putusan hukum sebagai komoditas yang dapat dijual belikan.
“Pada realitasnya, banyak hakim yang berkompromi dengan naluri dagang. Akhirnya, keadilan jadi komoditas, seolah bisa dijual dan dibeli,” kata Hinca dalam pernyataan tertulis, Selasa (15/4/2025).
Ia menjelaskan bahwa praktik suap bisa terjadi karena dua hal, yaitu, kekosongan moralitas dan longgarnya pengawasan di lembaga peradilan. Meskipun ada wacana menaikkan gaji hakim untuk mencegah suap, Hinca menilai hal itu tidak cukup.
“Godaan suap akan tetap menemukan jalannya. Kita bisa menambah angka pendapatan setinggi langit, tetapi bila peluang lolos dari hukuman lebih menggoda, transaksi hitam akan tetap menjadi pilihan rasional,” ujarnya.